INIBANTEN.COM – Pernyataan yang menyangkut kehormatan ibu atau pasangan sering kali menyentuh emosi seseorang. Hal ini terkait dengan nilai-nilai dan harga diri, baik bagi individu maupun keluarga. Istilah kasar atau merendahkan seperti mengatakan pelacur, tidak hanya menyakiti individu yang disebut, tetapi juga berpotensi menyinggung dan merendahkan martabat keluarga secara keseluruhan.
Kasus pembunuhan disertai mutilasi di Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara, beberapa hari lalu terkuak motif pelaku melakukan aksi brutalnya, berdasarkan pengakuannya ke penyidik, lantaran korban menghina ibu dan istrinya dengan menyebutnya pelacur.
Reaksi emosional dalam situasi ini biasanya dipicu oleh rasa cinta dan tanggung jawab untuk melindungi, serta keinginan menjaga kehormatan orang-orang terdekat.
Dalam kondisi seperti ini, tindakan kekerasan sering kali muncul dari emosi yang tak terkendali. Meski emosi bisa begitu intens, menurut Ari Sunarto Taslim, pemerhati masalah sosial, membunuh sebagai respons terhadap penghinaan tetaplah tindakan yang tidak dapat dibenarkan.
Beberapa orang yang tersulut emosi ekstrem mungkin kehilangan kendali, terutama jika mereka merasa harga diri atau kehormatan keluarganya diinjak. Namun, rasa terluka atau marah tidak bisa menjadi alasan untuk mengambil nyawa orang lain.
Tindakan kekerasan yang muncul dari kemarahan yang berubah menjadi agresi ekstrem menunjukkan kurangnya kontrol diri. Meskipun perasaan terluka atau marah adalah hal yang manusiawi, mengarahkan kemarahan tersebut pada tindakan fatal hanya akan memperburuk situasi dan membawa konsekuensi hukum serius.
Hal ini menegaskan pentingnya kontrol diri dan pendekatan damai dalam menghadapi konflik, serta perlunya pendidikan emosional dan penyelesaian masalah secara konstruktif agar tragedi serupa tidak terulang.
“Penting untuk tetap mengendalikan diri dan mencari solusi bijak agar tak ada pihak yang dirugikan,” kata Ari Sumarto Taslim.